Pengacara Spesialis Ketenagakerjaan : Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia, Menyeimbangkan Kepentingan Pekerja dan Pengusaha Pasca UU Cipta Kerja

Hubungan industrial adalah pilar utama dalam keberlangsungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, dinamika hubungan industrial secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan regulasi, terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) dan serangkaian putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK). Memahami evolusi ini penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif.
Artikel ini akan mengupas lanskap hubungan industrial di Indonesia, tantangan, serta upaya untuk mencapai keadilan dan stabilitas.
Kerangka Hukum Hubungan Industrial Pasca UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja dirancang sebagai inisiatif legislatif untuk mereformasi berbagai sektor hukum, termasuk ketenagakerjaan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyederhanaan regulasi dan perizinan berusaha. Pemerintah memandang UU ini sebagai instrumen vital untuk mengatasi tingginya angka pengangguran dan menciptakan sistem hukum yang lebih fleksibel, sederhana, kompetitif, dan responsif.
Namun, sejak awal pembentukannya, UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, telah menjadi subjek kontroversi yang luas. Undang-undang ini menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk serikat pekerja/buruh, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil. Pasal-pasal di dalamnya dinilai kontroversial dan dianggap melemahkan hak-hak pekerja yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Dinamika legislasi ini mencapai puncaknya ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Sebagai respons, pemerintah kemudian menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022, yang pada akhirnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Perubahan Kunci dan Implikasinya Terhadap Hubungan Industrial
Klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja membawa sejumlah perubahan mendasar yang kemudian banyak diinterpretasikan ulang atau dikoreksi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): MK menegaskan bahwa durasi PKWT tidak boleh melebihi 5 tahun, termasuk perpanjangan. Ini bertujuan menyeimbangkan fleksibilitas pengusaha dengan kebutuhan fundamental pekerja akan kepastian kerja.
Alih Daya (Outsourcing): MK meminta agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya, mengindikasikan preferensi terhadap pembatasan outsourcing pada pekerjaan non-inti.
Pengupahan: MK mengembalikan Upah Minimum Sektoral (UMS) , menghidupkan kembali peran dewan pengupahan , dan menegaskan bahwa upah harus mengandung komponen hidup layak. MK juga secara eksplisit menegaskan kembali peran serikat pekerja dalam perundingan dan penetapan upah.
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat: Putusan MK mengembalikan alternatif opsi libur dua hari seminggu untuk pekerja.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Pesangon: MK menegaskan bahwa perundingan bipartit terkait PHK harus dilakukan secara musyawarah mufakat, dan PHK hanya bisa dilakukan setelah memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. MK juga menegaskan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) harus dimaknai “paling sedikit”.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP): Program baru ini memperkenalkan jaring pengaman sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Hak Mogok Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB): Hak mogok kerja tetap diakui , dan PKB tetap berlaku, dengan ketentuan besaran pesangon tidak boleh lebih kecil dari undang-undang.
Perspektif Pemangku Kepentingan dan Tantangan
Dinamika hubungan industrial juga tercermin dari beragam pandangan pemangku kepentingan:
Pemerintah dan Akademisi Pendukung: Memandang UU Cipta Kerja sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Asosiasi Pengusaha (APINDO): Mengeluhkan kurangnya sentralisasi perizinan dan peraturan turunan yang tumpang tindih, menghambat tujuan penyederhanaan UU Cipta Kerja.
Organisasi Buruh/Serikat Pekerja: Sangat kritis, menganggap UU Cipta Kerja melemahkan hak-hak buruh, mengurangi pesangon, dan minimnya partisipasi buruh dalam pembentukan undang-undang. Mereka menyoroti ketidakseimbangan peran negara yang lebih condong pada pengusaha.
Tantangan implementasi yang muncul antara lain ketidakpastian hukum dan tumpang tindih norma yang masih ada. Putusan MK bahkan memerintahkan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun untuk mengatasi tumpang tindih ini.
Peran Bantuan Hukum dalam Hubungan Industrial
Kompleksitas dan dinamika hubungan industrial, terutama setelah perubahan regulasi dan putusan MK, seringkali membutuhkan panduan hukum yang tepat. Baik pengusaha maupun pekerja dapat menghadapi perselisihan yang memerlukan penyelesaian adil.
Bagi Pengusaha: Memastikan kebijakan perusahaan dan praktik hubungan industrial sesuai dengan peraturan terbaru, mencegah sengketa, dan menjaga harmoni di tempat kerja.
Bagi Pekerja: Memastikan hak-hak mereka terlindungi, mendapatkan keadilan dalam setiap perselisihan, dan memahami setiap prosedur yang berlaku.
Jika Anda membutuhkan konsultasi atau representasi hukum terkait hubungan industrial, perselisihan ketenagakerjaan, atau kepatuhan regulasi, berkonsultasi dengan pengacara ketenagakerjaan Jakarta Selatan adalah langkah yang bijak. Mereka dapat memberikan analisis kasus yang mendalam dan membimbing Anda melalui proses hukum yang rumit.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai layanan hukum terkait ketenagakerjaan, Anda bisa menghubungi 0812 9655 3714 atau mengunjungi rzalawfirm.com.
Tinggalkan Balasan